Indovoices.com –Pendiri Sekolah Terapung atau Floating School Rahmat Hidayat mengatakan, sistem pendidikan terkait keseragaman kurikulum saat ini masih menjadi persoalan. Ia mencontohkan masalah pendidikan yang dialami oleh masyarakat di wilayah kepulauan.
Rahmat menuturkan, masyarakat belum mendapatkan materi pendidikan yang kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan.
“Di Kepulauan Spermonde (Sulawesi Selatan), ada 117 pulau, di perbatasan Sulawesi dan Kalimantan, faktanya banyak sekali masalah pendidikan yang sangat kompleks di daerah tersebut,” kata Rahmat dalam webinar yang digelar British Council bertajuk Gerakan Anak Muda Bagi Inklusi Sosial di Indonesia, Minggu (6/9/2020).
Menurut Rahmat, kurikulum yang diterapkan di sekolah masih seragam. Artinya kurikulum bagi siswa yang tinggal di wilayah perkotaan, tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang diterima siswa di wilayah kepulauan.
Padahal, kata Rahmat, anak-anak yang tinggal di wilayah kepulauan seharusnya diberikan materi yang berhubungan dengan kemaritiman.
Misalnya, materi tentang pengelolaan hasil laut, cara menangkap ikan tanpa merusak biota laut sampai soal kelestarian lingkungan.
Ketidaksesuaian kurikulum ini pun membuat banyak anak-anak di wilayah kepulauan justru meninggalkan kampungnya setelah lulus sekolah menengah atas (SMA).
“Kurikulum yang kita pakai masih seragam sampai saat ini. One size fit all curriculum,” kata Rahmat.
“Padalah masyarakat Pulau ini mengelola laut yang begitu luas, banyak cara-cara penangkapan ikan yang merusak laut dan itu tidak ditekankan bagaimana generasi muda kita bisa lebih menjaga lingkungan,” ungkap Rahmat.
Baca juga: Kunjungi Sanggar Inklusi, Wakil Dubes Australia Dorong Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas
Oleh sebab itu, ia menginisiasi gerakan sosial di dengan memberikan pembelajaran kontekstual yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pada 2016 lalu, Rahmat bersama beberapa rekannya mendirikan sekolah nonformal di Makassar yang mengakomodasi materi belajar berbasis muatan lokal.
“Karena lagi-lagi, di sini belajar dengan menggunakan kurikulum perkotaan. Mereka memang tidak terakomodasi kepentingannya, kebutuhannya dari sisi kebijakan pemerintah,” ucap Rahmat.
“Sehingga, banyak dari mereka ketika mereka pun berhasil lulus SMA, banyak yang pergi meninggalkan pulaunya. Jadi tidak ada lagi yang peduli tentang keadaan pulaunya di masa depan,” tutur dia.(msn)