Indovoices.com –Rencana Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) atas beleid terkait stabilitas sistem keuangan bak bola panas.
Kasak kusuk atas rencana keluarnya Perppu ini menggelinding panas di industri pasar modal dan keuangan. Sebab, Perppu ini akan menyenggol semua beleid yang terkait stabilitas sistem keuangan. Yakni UU tentang Bank Sentral (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), UU Perbankan, serta UU Keuangan Negara.
Sumber KONTAN yang mengetahui masalah ini menyebut, target pemerintah, Perppu ini akan keluar pada bulan September ini. “Pemerintah akan mengeluarkan Perppu ini bulan ini,” ujar sumber yang tak mau disebutkan namanya.
Perppu harus dilakukan cepat lantaran kebutuhan mendesak atas potensi masalah sesungguhnya atas dampak krisis sebagai akibat pandemi Covid-19 akan muncul di tahun depan.
“Masalah riil di industri keuangan akan kita hadapi bersama di 2021. Saat aneka insentif tak lagi dikasih atau dikurangi, ini akan menguji daya tahan stabilitas sistem keuangan kita,” ujar dia menjelaskan. Gulungan kredit bermasalah atau non performing loan di perbankan, dan multifinance akan tampak nyata.
Kemampuan debitur membayar cicilan pasca miskin insentif akan menjadi ujian nyata yang harus dihadapi. Jika ada institusi keuangan tak sanggup menjaga stamina atas masalah yang dihadapi, ini bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan ke depan.
Ini pula yang memantapkan langkah pemerintah mengeluarkan Perppu terkait stabilitas sistem keuangan.
Apalagi, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga sudah mengatakan, pemerintah akan merevisi Undang-Undang (UU) terkait stabilitas sistem keuangan. Payung hukum yang akan keluar kemungkinan berupa Perppu.
Menkeu menjelaskan, krisis akibat pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) mengharuskan pemerintah menempuh upaya extraordinary termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Perppu terkait stabilitias sistem keuangan bisa merespons dampak ke depan yang berada di luar prediksi.
“Kalau melihat keseluruhan stabilitas sitem keuangan harus dilihat hati-hati langkah persiapan yang diperlukan seandadainya ada persoalan yang berkembang dan tidak bisa diselesaikan dalam peraturan perundanga-udangan yang ada,” ujar Menkeu, Selasa (25/8).
Yakin perubahan ini tak akan mengganggu stabilitas sistem keuangan, Perppu ini diyakini mampu menjadi pemecah bottle neck atas peraturan perudangan.
Banyak poin menarik yang layak dicermati dalam Perppu ini. Dari informasi eksklusif yang didapat, poin tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengawasan industri perbankan, asuransi, multifinance dan dana pensiun akan dialihkan dari OJK ke BI. Tak dibubarkan, OJK kelak akan mengawasi pasar modal dan financial technology (fintech) saja
Integrasi pengaturan dan pengawasan bank, asuransi, multifinance, dan dana pensiun hingga pasar modal membuat cakupan industri keuangan sangat besa. Ini berpotensi ada celah atas pengawasan dan pengaturan.
Sebagai ilustrasi, total aset perbankan semester I-2020 mencapai Rp 8.793,2 triliun, aset industri keuangan non bank senilai Rp 2.468 triliun.
Adapun pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG kini 5.310 per Selasa (1/9) dengan nilai kapitalisasi pasar sekitar Rp 6.178,41 triliun. Sementara nilai aktiva bersih (NAB) reksadana mencapai Rp 472 triliun per Juni 2020, dan nilai perdagangan obligasi sekitar Rp 2.922 triliun. Ini belum memperhitungan industry sekuritas, hingga fintech.
Dengan cakupan nilai industri keuangan dan pasar modal yang besar, “Konsentrasi OJK yang kelak akan mengawasi pasar modal akan lebih fokus dan lebih sigap dalam melakukan pengawasan dan pengaturan,” ujar sumber.
Kedua, konsekuensi dari pengalihan pengaturan pengawasan keuagan ke BI, OJK tak bisa mengutip iuran ke industri keuangan lantaran wewenangnya beralih ke bank sentral. Adapun biaya atas operasional OJK akan dibiayai oleh anggaran Negara (APBN).
Untuk itu, masa transisi akan diberikan, mengingat pembahasan anggaran tahun depan sudah kelar. Ini pula yang akan menjadi poin revisi UU Keuangan Negara dalam Perppu.
Ketiga, wewenang Lembaga Penjamin Simpanan akan diperluas.LPS punya kewenangan untuk masuk melakukan pemeriksaan atas bank bermasalah, tanpa harus meminta izin ke OJK, seperti saat ini.
Perluasan kewenangan LPS itu untuk menekan kerugian akibat penurunan nilai aset bank bermasalah. Ini agar bisa menurunkan potensi atau meminimalkan kerugian negara jika ada langkah resolusi awal.
Keempat, tugas bank sentral juga akan diperluas, selain menjaga inflasi dan nilai tukar, BI juga akan punya tanggungjawab atas ekonomi Indonesia, baik itu makro prudensial dan mikro prudensial. Ini seiring pengawasan industri keuangan di bawah kendali BI.
Kelima, penggantian pimpinan BI dan dewan komisioner OJK bisa dilakukan di tengah jalan, berdasarkan evaluasi kinerja dan penilaian Presiden.
Periode pergantian komisioner OJK akan bergiliran, tidak langsung semua diganti satu paket seperti saat ini. Periode rotasi komisioner OJK itu akan mirip dengan rotasi jabatan deputi Gubernur Bank Indonesia.
Hanya tak satupun pejabat negara yang dihubungi bersedia menanggapi isi draf Perppu tersebut. Namun, seorang pejabat negara yang tak mau disebutkan namanya kepada KONTAN menyebutkan bahwa poin-poin tersebut antara lain yang tengah dalam diskusi pembahasan.
“Soal hasil akhir, lihat nanti kalau sudah keluar,” ujarnya.
Ia juga menyakinkan bahwa keluarnya Perppu ini akan sejalan dengan isi revisi UU BI di tahun ini, revisi UU OJK tahun depan serta lembaga lainnya. Ia juga menyakinkan bahwa rencana ini juga telah mendapatkan lampu hijau partai politik.
“Semua sudah satu suara untuk perubahan dan antisipasi ke depan,” ujarnya. (msn)