—Ide baik belum tentu baik pula wujudnya. Ide terbaik adalah saat masih menjadi ide—
Bahwa kondisi geografis sebagian wilayah Indonesia memang belum memungkinkan tersedianya layanan internet. Namun pemerintah bertekad melayani kebutuhan internet bagi masyarakat dan dunia pendidikan secara merata. Hingga akhirnya tercetus ide mulia layanan mobil internet yang bisa berpindah hingga ke pelosok wilayah diluar jangkauan sinyal.
Kemenkominfo yang menjadi institusi penyedia layanan internet didaulat membuat proyek mobil internet dengan biaya ditanggung negara (APBN). Bekerja sama dengan vendor, provider dan operator jaringan, maka program mulia untuk pendidikan itu dirancang.
Alhasil Pemerintah SBY melalui Menkominfo Tifatul Sembiring di tahun 2010 menggelontorkan 1,4 Trilyun untuk proyek tersebut.
| Sumber : https://m.detik.com/inet/telecommunication/d-3215297/mobil-internet-kecamatan-misi-mulia-berujung-nestapa
Sebanyak 1.907 unit mobil layanan internet diproduksi oleh swasta dengan skema disewakan kepada pemerintah selama 4 tahun.
Catatan penting : 1,4 Trilyun dibagi 1.907 unit mobil = 734 juta/unit. Harga mobil terhitung sewa bukan beli, alias Pemerintah tidak pernah memiliki sarana tersebut. Anggaran habis tanpa ada sisa asset.
Selama 3 tahun mobil internet beroperasi, pihak swasta menanggung kerugian karena keterlambatan pembayaran sewa dari Kemenkominfo. Hasilnya : Layanan mulia untuk rakyat terpencil berhenti. Proyek bermasalah dengan oknum Kemenkominfo. Tersangka divonis korupsi. Pemerintah kalah gugatan di Badan Arbitrase Nasional (BANI) dan berkewajiban membayar proyek yang sudah terhenti. Gokil kan?
Begitulah cara kerja “rezim mangkrak” menghamburkan uang hasil utang, dimana pada ujungnya rakyat yang masih hidup di masa Pandemi ini wajib membayar hutang plus bunganya.
Andai saja bisa sedikit kreatif memanfaatkan “bangkai” sarana tersebut barangkali persoalan sekolah online terkait wabah Covid-19 ada harapan untuk solusi kecil. Memodifikasi ulang, berkeliling menyebar ke pelosok melayani sistem pelajaran online yang hingga detik ini masih kedodoran urusan fasilitas. Menciptakan kelas terbuka di pinggir sawah, di bawah pohon bambu, di samping sungai-sungai desa, dengan tetap mematuhi prosedur kesehatan.
Mengapa itu tidak dilakukan dan berkesan mustahil? Kembali lagi tentang ide.
Sebaik apapun ide akan menjadi ringan ketika tidak dilakukan. Kitapun yang sesungguhnya tidak pernah kekurangan orang-orang kreatif. Butuh campur tangan pemerintah untuk menampung ide kreatif. Termasuk diantaranya persoalan aplikasi.
Kalau Menteri Nadiem berhasil menciptakan aplikasi Gojek yang fenomenal, mengapa tidak mampu membuat aplikasi video online untuk belajar jarak jauh? Dikit-dikit Zoom meeting, zoom lagi zoom lagi yang jelas merupakan produk luar yang hingga hari ini sudah lebih 100 juta kali di download.
Jaringan internet pada perkembangannya sudah menjadi kebutuhan sekunder di bawah sandang pangan dan papan. Di tahun 2010 tercatat omset 100 Trilyun masyarakat Indonesia membelanjakan uangnya untuk membeli pulsa
| sumber : https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-1529823/pulsa-hp-jadi-kebutuhan-pokok-bisnis-selular-ri-bernilai-rp-100-triliun
Kini omset belanja tersebut semakin dibebankan kepada siswa pelajar, pelaku pembelajaran jarak jauh.
Apa karena operator seluler yang ada sekarang sebagian sahamnya milik asing? Hingga sesuatu yang berbau bisnis, akan selalu berorientasi keuntungan. Tidak kenal belas kasih apalagi Virus Corona
Mobil internet mangkrak, pembelajaran online, aplikasi asing dan belanja pulsa. Baru sebagian kecil dari persoalan bangsa yang solusinya tidak semudah Googling di internet. Karena sesungguhnya virus peradaban sedang mewabah, Covid-19 hanya turut andil menjadi salah satu bagiannya saja.
Depok 11/08/2020