Indovoices.com –Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan uji materi mereka terhadap Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan.
Menurut Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Hariyanto, dengan ditolaknya permohonan ini, tertutup kemungkinan untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Akibatnya, banyak rakyat yang ekonominya semakin terbebani, apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang ini.
“Kami menyanyangkan putusan tersebut,” kata Petrus.
“Kami harus menyatakan putusan MA tidak memperhatikan situasi rakyat yang sedang tercekik hidupnya. Akan semakin berat menjalani situasi dalam pandemi Covid-19 ini,” ucap dia.
Menurut Petrus, tarif BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres 64/2020 masih terlalu mahal dan tak jauh beda dengan iuran yang ditetapkan dalam Perppres Nomor 75 Tahun 2019.
Padahal, Perpres 75/2019 sebelumnya telah dibatalkan MA melalui putusan uji materi yang juga dimohonkan oleh KPCDI.
Melalui putusannya saat itu, MA juga meminta BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal dan eksternal. Namun, menurut Petrus, hal itu belum dilaksanakan.
“Jumlah iuran sangat tinggi sekali. Saya rasa tak terlalu beda Perpres 75 dan 64, sama-sama memberatkan masyarakat,” ujar dia.
Secara spesifik, kenaikan tarif BPJS Kesehatan itu juga dinilai memberatkan pasien cuci darah.
Bagi pasien miskin, membayar tarif BPJS Kesehatan yang lama sebelum dinaikkan pun sudah sulit.
Padahal, pasien cuci darah sangat membutuhkan BPJS Kesehatan demi kelangsungan hidup mereka.
“Kalau orang sehat gagal bayar iuran atau telat atau kartu BPJS tidak aktif bisa menunda berobat, bahkan kalau sehat kan tidak perlu berobat,” ujar Petrus.
“Kami (pasien cuci daerah), kalau kartu tidak aktif, maka tdk bisa cuci darah, atau bayar sendiri. Absen dua kali cuci darah sudah banyak bukti akhirnya pasien meninggal,” ucap dia.
Dengan tertutupnya langkah hukum akibat Putusan MA ini, menurut Petrus, ke depan pihaknya bakal menagih janji Komisi IX DPR RI yang kala itu sempat berjanji untuk meminta Kementerian Sosial memasukan pasien cuci darah sebagai penerima bantuan iuran (PBI) BPJS.
KPCDI juga akan menggalang dukungan dari komunitas-komunitas lain yang terdampak untuk mendorong pemerintah menerbitkan Perpres yang menurunkan iuran BPJS Kesehatan.
“Pelayanan kesehatan adalah hak, dan negara wajib memenuhi, ketentuan itu ada dalam konstitusi kita. Negara berkewajiban menyelenggarakan satu sistem jaminan sosial,” kata Petrus.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) atas uji materi Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang tarif baru BPJS Kesehatan.
Dengan demikian, kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020 sebagaimana tertuang dalam Perpres 64/2020 tetap berlaku.
“Tolak permohonan HUM,” bunyi amar putusan sebagaimana dikutip Kompas.com melalui laman resmi MA.
Menurut laman resmi MA, perkara bernomor 39P/HUM/2020 tersebut diketok pada 6 Agustus 2020.
Adapun Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020). Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.
Berikut rinciannya:
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 untuk kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
Pada akhir tahun lalu, Jokowi juga sempat menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, Mahkamah Agung telah membatalkan kenaikan tersebut berdasarkan putusan uji materi yang diajukan oleh KPCDI. (msn)