Indovoices.com –Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, pelibatan TNI-Polri dalam penertiban protokol kesehatan amat diperlukan. Mahfud tak mempermasalahkan pihak-pihak yang tak sependapat dengan hal tersebut.
“Tak ada persoalan TNI-Polri terlibat. Justru diharapkan peran mereka yang banyak untuk penertiban ini. Jadi ndak apa-apa ada yang beda pendapat, boleh saja,” ungkap Mahfud dalam konferensi pers daring.
Mahfud menjelaskan, penanganan Covid-19 memerlukan kebersatuan dan kebersamaan. Sehingga, menurutnya tidak ada yang perlu diperdebatkan soal itu. Menurut Mahfud, di dalam rapat-rapat gugus tugas sudah disepakati bahwa TNI-Polri ikut turun tangan dan membantu sepenuhnya untuk penanganan Covid-19.
“Baik dalam penyaluran bantuan-bantuan sosial agar tak jadi penyelewengan hingga tingkat terendah, maupun penegakan disiplin protkol kesheatan itu. Jadi tak apa-apa,” kata dia.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 telah dikeluarkan. Peneliti Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, menilai TNI semestinya tidak berhadapan langsung dengan masyarakat terkait penerapan sanksi tersebut.
“Terkait penerapan sanksi, TNI mestinya tidak berhadapan langsung dengan masyarakat, sesuai dengan ketentuan mengenai OMSP (operasi militer selain perang) di atas dan memperhatikan bahwa penjuru penegakan hukum dan ketertiban masyarakat adalah Polri, bukan TNI,” jelas Fahmi melalui keterangannya.
Dia meragukan peraturan pelaksanaan dari Inpres tersebut, yakni Pergub/Perbup/Perwal, dapat mengatur secara rinci batasan ruang lingkup kewenangan TNI dalam pengawasan, pembinaan masyarakat dan penerapan sanksi. Terlebih, Inpres itu juga mengesankan seolah TNI dan Polri berada dalam posisi setara terkait tugas pengawasan, patroli dan pembinaan masyarakat.
“Padahal, mestinya leading sector tetaplah unsur penegak hukum. Dalam konteks daerah, itu berarti ya organisasi perangkat daerah yang terkait dan Polri,” katanya.
Menurut Fahmi, dalam penerapan sanksi berupa teguran lisan sekalipun, tidak boleh disepelekan adanya kemungkinan “aksi berlebihan” dari para personel yang bertugas di lapangan. Maka, seharusnya Pergub/Perkab/Perwal itu juga diimbangi dengan peraturan Panglima TNI dan Kapolri.
“Yang berisi kewenangan, prosedur, cara bertindak dan larangan bagi personel yang bertugas di lapangan. Tapi Inpres tidak menginstruksikan pembuatan peraturan tersebut,” ujar dia.
Dia menerangkan, aturan itu perlu didampingi peraturan panglima TNI dan peraturan Kapolri agar pelaksanaannya tidak melenceng dan terhindar dari kemungkinan tumpang tindih di lapangan. Hal yang menurut dia bisa berujung friksi antarpetugas maupun aksi kekerasan yang tak sepantasnya dari aparat.
“Inpres 6/2020 sebenarnya tidak bertabrakan dengan UU 34/2004 tentang TNI. Hanya saja penting dicatat perlunya penyiapan pedoman pelaksanaan yang jelas dan tegas, agar aturan main yang akan termuat dalam lebih dari 500 Pergub/Perbup/Perwal itu tidak salah arah, apalagi sampai melanggar prinsip-prinsip HAM dan penegakan hukum,” tuturnya.
Dia juga menilai, meski Inpres sudah memberi panduan terkait bentuk sanksi, namun Inpres tersebut tidak merumuskan secara rinci bagaimana penerapannya. gubernur, bupati dan wali kota hanya diminta melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, TNI dan Polri.(msn)