Indovoices.com –Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menilai kinerja Mendikbud Nadiem Makarim dengan memberikan rapor merah. Sayang, penilaian itu tak disertai data dalam aspek apa saja Mendikbud dinilai gagal atau merah.
Menurut saya, Nadiem memang layak mendapat catatan merah terkait problem utama pendidikan, yaitu guru honorer. Program Merdeka Belajar Nadiem sama sekali belum menyentuh persoalan utama guru yang dinilai banyak pihak sebagai kunci kemajuan sebuah bangsa.
Status dan Kesejahteraan Guru
Pertama, Surat Keputusan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) guru honorer K2 yang lulus ujian di akhir 2019 belum keluar. Pemerintah abai terhadap desakan guru dan organisasi profesi guru agar mereka yang sudah lulus tes tersebut segera mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP).
Kedua, rekrutmen guru ASN. Indonesia kekurangan 707 ribu guru dari SD hingga SMA. Selama ini, kekurangan guru diisi oleh guru honorer. Namun di beberapa sekolah pinggiran kota dan daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), hanya ada satu sampai tiga guru yang merangkap sebagai kepala sekolah atau wali kelas.
Data Kemendikbud mencatat guru yang pensiun dan akan pensiun pada 2019-2023 terus meningkat. Total guru yang pensiun sebanyak 316,5 ribu orang sepanjang kurun waktu tersebut. Rekrutmen guru dengan pola 30 persen CPNS dan 70 persen jalur PPPK yang direncanakan pemerintah harus dilaksanakan setiap tahun secara konsisten.
Rencana moratorium rekrutmen CPNS hingga 2022 harus dikecualikan guru. Jika tidak PNS, setidaknya pemerintah bisa membuka rekrutmen PPPK. Dengan demikian, kekurangan guru tidak semakin parah kondisinya.
Ketiga, pemerintah tidak memiliki standar minimum gaji guru honorer. Gaji guru di bawah gaji buruh yang dibayar berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK). Sebagai contoh, UMP Jawa Tengah tahun 2020 ditetapkan senilai Rp 1.742.015.
Sementara banyak guru honorer dibayar Rp 200.000,- perbulan. Tidak hanya sangat kecil, gaji mereka tidak dibayarkan setiap bulan tetapi tiga bulan sekali atau lebih. Hal ini dikarenakan sumbernya dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang turun tiga bulan sekali atau lebih. Sama seperti sekolah negeri, sebagian sekolah swasta pun tidak memungut biaya bulanan kepada siswa.
Kesejahteraan guru diserahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Sebagian Pemda memberikan tunjangan daerah kepada guru honorer. Jumlahnya sangat tergantung kepada kemampuan dan kemauan masing-masing daerah. Di antara tunjangan itu adalah Tunjangan Profesi Guru, Tunjangan Tambahan Penghasilan, dan Tunjangan Daerah Khusus.
Keempat, penuntasan sertifikasi guru dalam jabatan. Data Kemendikbud 2018, menunjukkan sebanyak 570.000 guru di Indonesia belum memiliki sertifikat. Sedangkan yang sudah memiliki sertifikat pendidikan sebanyak 3.107.000 guru. Terdapat perbedaan penghasilan antara guru bersertifikat dan yang tidak, padahal beban kerja mereka sama. Tunjangan profesi guru sekitar Rp 1.500.000,- perbulan.
Kecuali itu, pemerintah harus mengubah pola pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG). Dari tiga bulan sekali ke bulanan seperti dosen, dan transfer langsung ke rekening guru. Maka, diharapkan TPG bisa cair tepat waktu dan tepat jumlah. Dokumen administrasi untuk pencairan TPG pun cukup dilakukan di akhir semester (laporan kinerja persemester), dan dilakukan secara daring. Hal ini untuk menghindari pungli.
Kebijakan Pandemi
Bukan berarti Nadiem tidak memiliki kebijakan yang layak diapresiasi, khususnya di masa pandemi. Pertama, pemerintah mengizinkan 50 persen dana BOS digunakan untuk gaji guru honorer, dan membeli kuota internet. Kedua, pemerintah melatih guru melalui Program Guru Penggerak. Bahkan pemerintah akan melakukan pelatihan guru-guru di kabupaten dan daerah 3T melalui Program Organisasi Penggerak.
Ketiga, pemerintah menyiarkan program pembelajaran selama pandemi di TVRI. Pemerintah juga melaksanakan webinar berseri yang terkait beragam aspek Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal ini sangat membantu guru untuk menguasai literasi digital. Keempat, Nadiem menghapus Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan akan menggantikannya dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survey Karakter (SK) pada 2021.
Kelima, Nadiem memerintahkan rektor untuk memberikan diskon Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa yang terdampak pandemi. Sesungguhnya yang diharapkan masyarakat adalah pembebasan, bukan diskon UKT. Khususnya bagi mahasiswa semester akhir.
Keenam, Nadiem mengeluarkan kebijakan terkait pentingnya kurikulum kampus sesuai dengan kebutuhan pengguna lulusan (user) atau link and match. Bahwa mahasiswa selama tiga semester bisa melakukan praktik di luar kampus, yaitu di perusahaan, kantor pemerintah, sekolah, dan perguruan tinggi. Dengan demikian, lulusan siap kerja.
Demikianlah, kekurangan dan kelebihan Nadiem di masa kerjanya yang sudah delapan bulan (dilantik 25 Oktober 2019). Penyelesaian masalah guru merupakan hal penting agar pendidikan Indonesia maju. Kesejahteraan guru honorer harus menjadi fokus pemerintah. Sudah sangat lama mereka hidup dalam pengabdian tanpa imbalan yang setimpal.
Status rapor merah dan desakan sebagian masyarakat agar Nadiem diganti, seharusnya bisa melecut kinerja yang bersangkutan lebih fokus dan baik lagi. Memang tidak mudah menyelesaikan persoalan guru honorer karena berkaitan dengan anggaran yang besar. Akan tetapi, kesejahteraan guru harus menjadi prioritas agar mutu pendidikan Indonesia bisa bagus dan bersaing. (msn)