Indovoices.com –Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan praktik rasuah di proyek infrastruktur tidak hanya merugikan negara. Kejahatan luar biasa itu juga mencederai masyarakat.
“Sangat merugikan bagi masyarakat karena dengan terjadinya korupsi maka hak masyarakat untuk mendapatkan fasilitas infrastruktur yang baik jadi tercederai,” kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Lili mengingatkan penyelenggara negara dan pelaksana proyek agar tak melakukan pekerjaan dengan ‘dibumbui’ korupsi. Setiap pihak yang berusaha melakukan praktik itu mestinya dilaporkan ke KPK.
“Jika ada permintaan uang dari pihak-pihak tertentu, silakan dilaporkan pada KPK di bagian pengaduan masyarakat atau melalui call center 198,” ujar Lili.
Pesan KPK tersebut respons atas penahanan tersangka Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group), Hong Artha John Alfred. Hong Artha merupakan tersangka kasus dugaan korupsi proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016.
KPK menahan Hong Artha selama 20 hari di rumah tahanan (rutan) Klas I Jakarta Timur cabang KPK di Gedung Merah Putih KPK. Penahanan terhitung sejak Senin, 27 Juli 2020 hingga Sabtu, 15 Agustus 2020.
Hong Artha merupakan tersangka ke-12 dalam perkara ini. Lembaga Antirasuah telah menetapkan 11 orang lainnya yang terdiri dari lima anggota DPR periode 2014-2019 yakni Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto, Musa Zainudin, Yudi Widiana Adia dan Andi Taufan Tiro.
Kemudian Bupati Halmahera Timur periode 2016-2021 Rudy Erawan, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustray. Tersangka lain yakni Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir, Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa (CMP) So Kok Seng, swasta Julia Prasetyarini, dan ibu rumah tangga Dessy A Edwin.
Konstruksi perkara
Lili menjelaskan, perkara ini bermula dari tertangkap tangannya Damayanti Wisnu Putranti bersama tiga orang lainnya di Jakarta pada 13 Januari 2016. KPK menemukan barang bukti total sekitar USD99 ribu dalam operasi senyap tersebut.
Fulus tersebut merupakan bagian dari komitmen total suap untuk mengamankan proyek di Kementerian PUPR pada 2016. Hong Artha diduga telah memberikan sejumlah hadiah kepada beberapa orang.
“Penyidik mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat dan barang elektronik bahwa tersangka HA (Hong Artha) dan kawan-kawan diduga memberikan uang kepada sejumlah pihak,” ujar Lili.
Hong Artha diduga memberikan uang kepada Amran Hi Mustray,sebesar Rp8 miliar pada Juli 2015 dan Rp2,6 miliar pada Agustus 2015. Fulus juga mengalir ke Damayanti Wisnu Putranti sebesar Rp1 miliar pada November 2015.
“Pemberian-pemberian tersebut diduga terkait pekerjaan proyek infrastruktur pada Kementerian PUPR tahun anggaran 2016,” ujar Lili.
Atas perbuatannya, Hong Artha disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(msn)