Indovoices.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan pengawasan berlapis di sektor perbankan guna mencegah terjadinya fraud. Apalagi industri perbankan merupakan jantung aktivitas ekonomi Indonesia yang rentan kolaps hingga berdampak sistemik.
“Kalau dari internal, kita sudah mengatur tugas komisaris seperti apa. Kemudian di bawah komisaris ada komite-komite termasuk komite kredit dan sebagainya. Kemudian di level direksi ada juga risk management,” kata Heru dalam webinar di Jakarta.
Heru menjelaskan jika aksi fraud masih tetap terjadi, masih ada ring kedua yang langsung diawasi dan dijaga ketat oleh OJK. Kemudian di bank Himbara sendiri, ada pengawasan dari auditor eksternal.
Sesuai ketentuan mengenai manajemen risiko, bank diwajibkan memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola risiko. Termasuk adanya sistem pengendalian intern terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi bank.Selanjutnya, pengaturan mengenai pencegahan fraud di industri perbankan telah berlaku sejak 2011. Terakhir disempurnakan pada POJK No.39/POJK.03/2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud.
“OJK menyadari bahwa dalam setiap kegiatan usaha bank dapat terpapar risiko operasi yang salah satunya berasal dari fraud. Oleh karena itu, bank diwajibkan untuk menerapkan strategi anti fraud yang mencakup pencegahan, deteksi, investigasi, sanksi, serta pemantauan, yang selanjutnya akan menjadi objek pengawasan OJK,” jelas dia.
Selain itu, OJK juga mengatur kualifikasi SDM industri keuangan khususnya key person dari industri dimaksud. Kebijakan ini tertuang dalam POJK No. 27/POJK.03/2016 tentang penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Kemudian pihak utama bagi bank termasuk pemegang saham pengendali, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris.
“Semua sebetulnya untuk mencegah terjadinya fraud. Pokoknya sudah berlapis-lapis seperti itu,” tegas Heru.Kendati demikian, Heru mengakui fraud bisa datang dari mana saja. Fraud yang paling sulit dideteksi terjadi antara kerja sama orang dalam bank itu sendiri dengan nasabahnya. Sebagai contoh pembobolan Bank BNI senilai Rp1,7 triliun oleh pemilik PT Gramarindo Mega Indonesia Maria Pauline Lumowa.
Pelaku membobol kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif yang dilakukan pada 2002. Diduga, lancarnya pencairan L/C kepada Gramarindo karena melibatkan orang dalam BNI.
“Kalau sudah seperti itu, maka keamanan yang berlapis lapis dapat diterobos karena mereka sendiri yang melakukannya. Kalau sudah berkolaborasi dan berjamaah maka akan sulit dideteksi. Apalagi kalau ada kekuasaan yang one man show. Pengalaman kita kalau sudah ada keputusan yang sifatnya one man show maka ada kemungkinan terjadinya fraud,” pungkas dia.(msn)