Indovoices.com –Wabah pandemi Covid-19 belum juga usai. Para ahli masih terus melakukan penelitian dan pengembangan vaksin yang diharapkan dapat menghambat dengan cepat laju transmisi virus corona SARS-CoV-2.
Setiap negara baik pemerintahan maupun instansi swasta atau industri juga berupaya untuk menemukan vaksin yang tepat untuk imunisasi Covid-19 ini, dengan berbagai teknologi yang bisa dipergunakan.
Tidak ketinggalan, beberapa lembaga atau instansi di Indonesia juga sedang berupaya melakukan pengembangan vaksin ini juga, salah satunya Eijkman Institute for Moleculer Biology (LBM Eijkman).
Teknologi vaksin Covid-19 di Indonesia
Direktur LBM Eijkman Prof Amin Soebandrio, mengenalkan teknologi yang dipergunakan untuk membuat vaksin dari instansinya adalah recombinant protein vaccines.
Dijelaskan oleh Amin, vaksin berdasarkan protein rekombinan ini dianggap lebih baik, karena dasar sampel yang diambil adalah bagian atau sepotong protein bukanlah virus secara utuh.
“Dengan begitu tidak ada risiko infeksi atau virus itu akan kembali menjadi virulen (ganas atau mematikan),” kata Amin dalam diskusi daring bertajuk Riset dalam Menemukan Vaksin dan Obat Anti Covid-19.
Tetapi, kata Amin tetap ada sisi kelemahannya antara lain karena merupakan potongan protein kecil, maka jika tidak dibantu oleh protein lain yang lebih besar, biasanya sifat antigenesitinya tidak sebaik virus utuh.
“Untuk itu kita harus memilih, ajuvan yang baik, yang sesuai dan dibutuhkan pemberian suntikan beberapa kali,” ujar dia.
Jika bekerja dengan rekombinan antigen, penelitian membutuhkan sistem ekspresi seperti dari bakteri, sel mamalia, sel insect, sel unggas, sel tanaman, yeast, DNA.
Serta, tipe antigen dalam teknologi vaksin jenis ini adalah particulate (VLP), solube (monomeric atau diremic), fusion protein, dan chimeric.
Pengembangan vaksin Covid-19 di Indonesia
Dikatakan Amin, pengembangan vaksin Covid-19 menggunakan isolat virus Indonesia, dengan produksi speed vaccine Covid-19.
LBM Eijkman saat ini sudah bisa mendapatkan sekuen asam nukleat RNA dari tujuh isolat penyusun genom virus corona, SARS-CoV-2 dari Indonesia, yang saat ini disebutkan masih meneliti belasan sekuen lagi.
Dalam prosesnya, isolasi dan amplifikasi gen spike dilakukan dengan PCR untuk menganalisa gen ekspresi protein. Dilanjutkan dengan kloning gen ke vektor, melalui kloning transfeksi sel mamalia.
“Kami akan mengembangkan protein rekombinannya. Jika sudah mendapatkan antigen kandidat vaksinnya akan dicobakan ke hewan kecil, kemudian baru hewan yang lebih besar,” jelasnya.
Jika kualitas dan hasilnya sudah bagus dari keseluruhan tindakan yang dilakukan dan pengujian kepada hewan tersebut, baru bisa diserahkan untuk uji klinis kepada manusia.
Hingga selanjutnya skala produksi vaksin jika hasilnya positif dan efek samping tidak memicu reaksi berlebihan lainnya.
Teknologi tua pengembangan vaksin
Teknologi telur disebut juga teknologi tua, karena menjadi teknologi yang sudah di kenal awal sekali, seperti vaksinasi untuk influenza, vaccinia dan klorela. Dalam pengembangannya, virus atau bakteri ditumbuhkan di telur yang bertunas.
Setelah beberapa hari atau minggu, virus atau bakteri yang ditumbuhkan itu bisa dipanen, untuk kemudian dikembangkan menjadi vaksin. Tentunya setelah dilakukan inaktivasi dengan berbagai cara.
Teknologi vaksin ini adalah teknologi sederhana, yang tidak membutuhkan terlalu banyak peralatan. Virus yang dipanen dari telur ini juga bisa langsung dilemahkan atau diinaktivasi, setelah di formulasi, diagnosis dan lain sebagainya, ini bisa diberikan dengan lebih cepat.
“Untuk Covid-19 juga ada beberapa negara yang mengembangkan (vaksin) seperti ini,” ujar dia.
Namun, diakui Amin, dengan teknologi ini ada kendalanya seperti, ada orang dengan kondisi tertentu, yang bisa jadi tidak alergi pada vaksinnya tetapi alergi pada telur tempat tumbuhnya, itu bisa menimbulkan masalah lainnya.
Selain inaktivasi, virus atau bakteri yang akan dibuat vaksinnya bisa juga dilemahkan (attenuated) dengan berbagai cara.
Respon tubuh terhadap virus utuh yang dilemahkan itu lebih baik, tetapi salah satu masalahnya adalah jika ini diberikan kepada orang-orang yang mengalami imuno-kompromis, ibu hamil atau orang yang sedang mendapat terapi steroid. Virus yang dilemahkan ini bisa kembali menjadi virulen.
“Sehingga tidak disarankan diberikan kepada mereka yang memiliki gangguan imunologi,” tuturnya.
Teknologi yang dipergunakan untuk pengembangan vaksin corona di Indonesia dari Eijkman ini diharapkan dapat menjadi solusi menghadapi pandemi Covid-19.(msn)