Indovoices.com-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan segera mengirimkan notifikasi ke Regional Fisheries Management Organization (RFMO) terkait ekploitasi Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di kapal ikan Tiongkok.
Menteri KKP Edhy Prabowo mengatakan, pihaknya fokus pada dugaan ekspoitasi itu.Dari laporan kantor berita Korea Selatan MBC News, para ABK Indonesia itu dipaksa kerja 18 jam dengan hanya istirahat makan dan tidur selama enam jam.
Perlakuan tak manusiawi membuat ABK Indonesia meninggal, salah satunya Ari (24) yang jenazahnya dibuang ke laut.
“Jika benar terdapat perlakuan tidak manusiawi terhadap ABK Indonesia, maka pihaknya akan menyampaikan laporan ke otoritas pengelolaan perikanan di laut lepas RFMO, agar perusahaan tersebut diberi sanksi,” kata Edhy dalam siaran pers.
Apalagi, kata Edhy, terdapat dugaan perusahaan perekrut mengirim ABK Indonesia beberapa kali. Perusahaan itu juga terdaftar sebagai authorized vessel di dua RFMO, yaitu Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC).
Adapun mengenai ABK asal Indonesia yang kini berada di Korea Selatan, Edhy memastikan akan menemui mereka, serta meminta pertanggungjawaban perusahaan yang merekrut. Bentuk pertanggungjawaban tersebut antara lain, menjamin gaji dibayar sesuai kontrak kerja, serta pemulangan ke Indonesia.
Untuk memastikan perusahaan patuh, KKP akan mengkaji dokumen-dokumen para ABK tersebut, termasuk kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani.
Edhy menegaskan, sejak diangkat oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, isu perlindungan ABK menjadi salah satu fokusnya. Seperti pada 18 Desember 2019, Edhy sempat bertemu dengan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Chang-beom yang membahas soal perlindungan ABK Indonesia di Korea Selatan.
Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyarankan agar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) hati-hati menyikapi kasus ini. Menurutnya, Kemenlu harus mendapatkan informasi yang komprehensif, baik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tiongkok, maupun di Korea Selatan.
“KBRI di Seoul perlu memastikan otoritas Korea Selatan melakukan investigasi, apakah ada tindak pidana atau tidak,” kata Hikmahanto.
Selain itu, Kemenlu melalui KBRI di Beijing perlu meminta Pemerintah Tiongkok untuk memberikan akses seluas-luasnya agar pemilik maupun penyewa kapal Tiongkok tersebut dapat di investigasi. Alasannya, saat ini informasi yang didapat masih sangat minim.
Untuk investigasinya, pemerintah bisa mempercayakan kepada The International Criminal Police Organization atau Interpol, serta kepolisian Korea Selatan. Namun, keterlibatan Korea Selatan dengan catatan kapal masih bersandar di Busan.(msn