
Sejak mencalonkan diri sebagai presiden di pilpres 2014 lalu, Jokowi telah mendapatkan serangan dari berbagai pihak, salah satunya yang santer ketika itu adalah beredarnya Majalah Obor Rakyat yang berisi fitnahan kepada Jokowi.
Hal ini kemudian berlanjut terus selama masa pemerintahan beliau hingga sekarang. Berbagai tuduhan, fitnah, berita hoax datang silih berganti dengan tema yang tidak jauh-jauh dari sekitar PKI, pro Asing-Aseng, dan Hutang.
Semua itu dihadapi dengan sabar dan kalem. Tak pernah Jokowi balik menghujat mereka yang memfitnahnya, apalagi dengan kata-kata kasar. Lebih banyak serangan balik yang dilakukan adalah dalam bentuk simbolik seperti berlatih tinju, memanah, menjamu pelawak dan sebagainya. Namun ibarat pepatah, semut yang diinjak pun akan menggigit. Sepertinya kesabaran tersebut sudah sampai pada batasnya.
Di hadapan relawan, Jokowi pun buka-bukaan terhadap berbagai soal isu utang negara, PKI hingga gerakan #2019GantiPresiden.
Gerakan #2019GantiPresiden yang masif digemakan PKS pun ikut ditanggapi Jokowi. Dirinya bahkan menyindir bahwa kaus dan gelang tak bisa mengganti presiden. Hal ini disampaikan oleh Jokowi di hadapan relawan yang hadir dalam Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018,di Ballroom Puri Begawan, Bogor, Sabtu 7 April 2018.
Sementara soal hutang, Jokowi menjelaskan jika sejak dirinya dilantik utang negara sudah Rp 2.700 triliun dan ditambah bunga Rp. 250 setiap tahunnya, sehingga akibatnya hutang terus membengkak.
Jokowi juga mengklarifikasi soal tudingan antek asing dan PKI yang dialamatkan kepadanya yang disebut olehnya sebagai tuduhan tidak beradab yang berupaya melemahkan bangsa.
Isu Indonesia bubar yang pernah disampaikan Ketum Gerindra Prabowo Subianto juga mendapat tanggapan dari Jokowi yang menegaskan sikap optimistis harus terus ditumbuhkan pemimpin untuk menghadapi tantangan yang muncul akibat perubahan dunia yang begitu cepat.
“Kita memang harus tahan uji, harus tahan banting, harus kerja keras, harus berusaha. Jangan malah pesimis 2030 bubar!” tegasnya.
“Pemimpin itu harus memberikan optimisme kepada rakyatnya. Pemimpin itu harus memberi semangat kepada rakyatnya,” tambah Jokowi.
Jokowi bahkan meminta para relawan untuk turut mengawasi jalannya pembangunan dan pendistribusian ‘kartu sakti’ Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu sebagai program mereka. Termasuk juga masalah pembagian sertifikat tanah dimana Jokowi mendapat laporan adanya pihak yang mengklaim berjasa dalam program penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat.
Yang terakhir, Jokowi menanggapi kritik program sertifikat tanah untuk rakyat yang disebut program bohong oleh salah satu tokoh beberapa waktu yang lalu. Jokowi mengingatkan jika hal itu merupakan kritik, maka harus berbasis data dan mencarikan alternatif solusi.
Seruan Jokowi dalam menjawab berbagai fitnahan tersebut menurut pandangan saya, selain untuk menepis berbagai tuduhan miring kepada dirinya selama ini, juga merupakan Wake-up Call untuk para sukarelawan pendukungnya agar lebik aktif dalam melawan berita hoax dan fitnah.
Karena yang membuat serta menyebarkan hoax dan fitnah itu bukan lagi masyarakat biasa, namun para elite partai serta tokoh yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat juga ikut-ikutan membuat dan menyebarkan hoax.
Bisa jadi ini merupakan efek panik akibat melihat elektabilitas Jokowi yang melejit tak tertandingi, serta belum adanya tokoh yang becus dan mampu untuk menandingi Jokowi.
Coba perhatikan saja, di depan masyarakat mereka selalu berbicara keadilan, berbicara mengatasnamakan rakyat, berbicara ingin menyejahterakan rakyat. Di depan masyarakat mereka ingin menampilkan kesan sebagai tokoh atau calon pemimpin yang jujur, adil, beradab, dan memperhatikan rakyat kecil.
Sayangnya kelakuan yang mereka tunjukkan justru mengkhianati diri mereka sendiri, membongkar topeng mereka dan menunjukkan watak aslinya sebagai bajingan oportunis dan menghalalkan segala cara untuk menang.
Kelakuan yang saya maksud diantaranya adalah menuduh tanpa data yang jelas, sampai-sampai novel fiksi pun dipakai sebagai acuan. Tokoh yang lainnya bahkan berani berbohong dan mengaku-ngaku kalau datanya dari Bank Dunia.
Celaan mereka bukan lagi bersifat kritisi, karena tidak memiliki solusi akibat miskin prestasi. Akhirnya bukan jualah program, yang ada hanyalah upaya menjelek-jelekkan pemerintah saat ini.
Benar pernyataan yang disampaikan oleh Mantan Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah Buya Syafii Maarif yang menegaskan, kelompok besar masyarakat yang jarang mengungkapkan pandangannya (silent majority), harus bersuara dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
“Orang-orang normal jangan diam. Jangan diam. Kalau diam, nanti akan semakin merajalela,” ujarnya ketika di Wisma Antara, Jakarta, Kamis 23 Maret 2018 yang lalu.
Tentu perlawanan yang dimaksud oleh Buya bukanlah perlawanan dalam bentuk kekerasan, banyak cara yang dapat kita lakukan. Sudah saatnya para sukarelawan merumuskan tindakan atau program yang perlu dilakukan untuk membantu Jokowi menghadang segala fitnahan dan berita hoax yang menyerang dirinya.
Apalagi waktu menuju pilpres sudah semakin mendekat, dapat dipastikan serangan juga akan semakin meningkat. Sudah siapkah kita?